Tahun lalu beberapa media online memberitakan adanya ilmuwan Indonesia yang dinominasikan untuk meraih Hadiah Nobel. Para pembaca awam mungkin akan bergembira membaca berita semacam ini. Tapi orang-orang yang bergelut di bidang riset akan berkerut kening, atau malah tertawa terbahak-bahak.
Kalau wartawan yang menulis berita itu mau sedikit rajin, ia bisa memerika situs Nobel Prize. Di situ disebutkan bahwa nominasi dilakukan melalui proses undangan. Artinya, pihak panitia yang akan mengundang peneliti ataupun institusi untuk menominasikan. Lebih penting lagi, nominasi itu bersifat rahasia, dan akan dijaga selama 50 tahun. Maka, situs Nobel Prize menulis, kalau ada rumor tentang seseorang yang dinominasikan, tentu itu sifatnya spekulasi saja.
Berita tentang nominasi Hadiah Nobel untuk peneliti Indonesia itu pun sebuah rumor saja. Dari mana sumbernya? Dari peneliti itu sendiri. Kita bisa bayangkan prosesnya. Si peneliti mengirim tulisan rumor tentang dirinya sendiri, media online memuatnya, tanpa melakukan pemeriksaan sama sekali.
Itu adalah kejadian berulang di media kita. Sekitar 7 tahun lalu, sebuah stasiun TV menyebut seorang peneliti Indonesia sebagai penemu sistem komunikasi 4G. Lagi-lagi orang yang paham akan tertawa. Sistem komunikasi itu tidak ditemukan, tapi disepakati. Perlu bertahun-tahun sampai berita ini berhasil diluruskan, termasuk oleh ilmuwannya sendiri. Sebenarnya ia mungkin bisa meluruskannya pada saat proses rekaman acara itu.
Sekitar dua tahun yang lalu juga beredar berita tentang seorang tukang las di Bali yang mengaku berhasil membuat lengan elektro-mekanik yang dikendalikan dengan gelombang otak. Ia diberi gelar Iron Man. Wartawan yang datang meliput sibuk mengambil gambar dan merekam klaim orang itu, tanpa memeriksa apakah alat yang dibuat dari barang rongsokan itu benar-benar saling terhubung kabel-kabelnya.
Para wartawan kita banyak yang buta soal informasi sains. Maka mereka dengan mudah menulis apa saja yang mereka dengar. Bahkan mereka kadang tak perlu menulis. Mereka cukup menyalin saja tulisan yang dikirim oleh narasumber. Beberapa wartawan berlagak cerdas dengan sedikit mengubah tulisan narasumber itu seolah ia sudah melakukan wawancara.
Menulis begitu saja informasi dari narasumber itu terjadi karena wartawan tidak paham. Tapi itu belum seberapa. Mereka meninggalkan sebuah proses yang sangat fundamental dalam pemberitaan, yaitu pemeriksaan. Istilah teknisnya adalah check and recheck. Periksa, dan periksa lagi. Istilah teknisnya saja cukup gamblang menjelaskan proses berlapis yang diwajibkan untuk memeriksa informasi. Sementara, para wartawan kita sekadar melakukan pemeriksaan sekali saja pun tidak.
Kebiasaan memuat berita tanpa periksa ini makin menggila di media online. Media cetak punya keterbatasan ruang pemuatan, sehingga secara alami akan terjadi seleksi terhadap jumlah berita yang bisa dimunculkan. Media online tidak punya keterbatasan. Jadi semua bisa dimuat. Terlebih, mereka seakan berlomba untuk cepat-cepat memberitakan. Maka proses pemeriksaan berlapis tadi hampir pasti diabaikan.
Media online hidup dari jumlah kunjungan pembaca. Maka bagi mereka seakan tidak penting lagi soal validitas informasi yang mereka sampaikan. Yang lebih penting adalah berita itu dibaca oleh banyak orang. Selebihnya, mereka tidak merasa perlu untuk bertanggung jawab. Mentalitas ini kalau dibiarkan, adalah malapetaka dalam dunia pers.
Tidakkah kerja memeriksa informasi ilmiah itu sebuah kerja yang sangat berat bagi wartawan? Kerja berkualitas memang kerja berat. Justru itulah masalahnya. Wartawan kita hanya ingin melakukan pekerjaan ringan, sambil lalu. Maka kualitas berita yang mereka hasilkan adalah kualitas sampah.
Sebenarnya ini pun bukan kerja yang sangat berat. Dengan adanya mesin pencari yang sangat canggih sekarang, informasi akurat bisa didapat dalam hitungan detik. Ada ribuan orang menulis soal informasi sains secara populer. Masalahnya, apakah para wartawan itu orang-orang yang membaca? Saya khawatir mereka tidak membaca.
Menjadi wartawan mungkin hanya bermakna sebagai kuli ojek (bukan lagi kuli tinta); sejak pagi sudah pontang-panting naik ojek mengejar narasumber, dan itu dilakukan sepanjang hari hingga tengah malam. Besoknya hal yang sama terulang lagi. Wartawan tak punya kesempatan untuk belajar menambah pengetahuan. Atau, mereka memang tak merasa perlu belajar.
Redaksi Bambang / hasan